1. Pulau Penyengat.
Pulau Penyengat terletak di sebelah barat pulau Bintan (kota Tanjungpinang). Pulau Penyengat adalah pulau kecil berjarak sekira 2 km di seberang Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Pada abad ke-18 pulau ini merupakan lokasi pemerintahan Kesultanan Johor-Riau dengan istana perpaduan arsitektur Jawa dan Belanda dan kini tengah direnovasi setelah sempat terbengkalai selama 80 tahun.
Pulau Penyengat atau nama lengkapnya Pulau Penyengat Indera Sakti ini hanya berukuran sekira 2.500 meter x 750 meter. Belum dapat dipastikan asal mula nama 'penyengat' namun menurut cerita masyarakat sekitar dahulu pulau ini dijadikan pelabuhan persinggahan pelaut untuk mengambil air tawar untuk bekal pelayaran. Suatu waktu seorang saudagar yang hendak mengambil air tiba-tiba 'disengat' ribuan lebah yang tinggal di pepohonan pulau ini. Dari situlah nama 'penyengat' berasal.
Karena pulau ini berada di tengah-tengah laut maka mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Penduduk Pulau Penyengat merupakan keturunan Melayu dan bahasa ibu mereka adalah bahasa Melayu Riau. Mayoritas penduduk Pulau Penyengat menganut agama Islam yang taat dengan tatakrama dan kesopanan sangat dijunjung tinggi.
Mobilitas di Pulau Penyengat mungkin sedikit berbeda dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Di pulau ini, Anda tidak akan menemukan kendaraan roda empat jenis apapun, yang ada hanya sepeda motor dan becak motor. Oleh karena itu, jalanan di pulau ini sempit. Penunjuk jalan pun menggunakan dua bahasa yakni Bahasa Indonesia dan Huruf Arab Gundul.
Karena merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Johor-Riau, di pulau ini banyak ditemui berbagai peninggalan Kesultanan Johor-Riau diantaranya adalah Masjid Raya Sultan Riau, Kompleks Pemakaman Keluarga Kesultanan Johor-Riau, makam Pahlawan Nasional Raja Ali Haji, kompleks Istana Kantor, Balai Adat, dan benteng di Bukit Kursi.
Meskipun ukuran pulau ini terbilang kecil namun potensi wisatanya cukup besar. Di pulau ini dapat Anda nikmati wisata sejarah, seni dan budaya. Bahkan, pemerintah Kepulauan Riau sudah menjadikan Pulau Penyengat sebagai salah satu destinasi unggulan mereka.Berkunjung ke Pulau Penyengat, berarti berkunjung ke Masjid Sultan Riau. Masjid yang dibangun menggunakan perekat putih telur ini memiliki warna kuning menyala dan sangat mencolok jika dilihat dari kejauhan. Ukuran masjidnya sekira 54 x 32 meter dengan bangunan induknya 29,3 x 19,5 meter. Masjid Sultan Riau begitu megah dengan tiga belas kubah dan empat menara runcing setinggi 18,9 meter dan ditopang empat tiang dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm serta masih berlantaikan batu bata.
Di dalam masjid ini terdapat kitab suci kuno yang berjumlah 300 buah, kitab-kitab kuno koleksi perpustakaan Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi, dan dua mushaf Al Quran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Masjid ini merupakan kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat
Selain berkunjung ke Masjid Sultan Riau, Anda juga tentunya tidak akan menghilangkan kesempatan untuk berkeliling pulau. Salah satunya ke Kompleks Pemakaman Keluarga Kesultanan Johor-Riau di daerah Dalam Besar. Di kompleks pemakaman ini terdapat makam Engku Puteri Permaisuri Sultan Mahmud yang wafat pada 1812, makam Raja Ahmad, Raja Abdullah, Raja Aisyah Permaisuri, dan Raja Ali Haji yang merupakan seorang pahlawan nasional. Untuk sedikit bersantai, Anda bisa berkunjung melihat-lihat Balai Adat yang berarsitektur Melayu. Balai Adat ini berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat Pulau Penyengat mulai dari musyawarah hingga penyelenggaraan hajatan pernika han. Berikutnya Anda bisa melanjutkan untuk melihat gedung yang dahulu digunakan sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. (sumber http://www.indonesia.travel/id )
2. Tempat- Tempat sejarah dan komplek pemakaman
Daeng Celak juga merupakan bangsawan Bugis asal Luwu yang membantu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berperang melawan Raja Kecil. Daeng Celak bergelar Yang Dipertuan Muda Riau II, dan menggantikan posisi Daeng Marewah.
Raja Haji Fisabilillah merupakan anak dari Daeng Celak (YDMR IV). Semasa hidupnya dikenal sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV (1777-1794). Dia dilantik oleh Datuk bendahara Tun Abdul Majid di Pahang mewakili Sultan Mahmudsyah III.25 Sebagai Yang dipertuan Muda juga membangun Istana Kota Piring di Pulau Beram Dewa, dan meninggal di Teluk Ketapang dalam peperangan lautnya melawan armada Belanda di bawah pimpinan Jacob van Braam. Peperangan Raja Haji beserata pasukannya melawan armada Belanda ini dikenal dengan sebutan Perang Riau, dan merupakan peperangan bahari yang sangat besar pada saat itu.
Makam Engku Puteri Raja Hamidah, terletak di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau. Engku Puteri Raja Hamidah adalah anak Raja Haji Fisabilillah.
Makam Yang Dipertuan Muda (Raja) Riau VI Raja Ja’far terletak di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau. Raja Ja’far atau Yang Dipertuan Muda Riau VI adalah Raja Riau yang mengembangkan pertambangan timah di Singkep. Masa pemerintahannya berlangsung pada saat Belanda dan Inggris memperebutkan wilayah jajahan. Beliau meninggal di Daik-Lingga dan kemudian dimakamkan di Pulau Penyengat. Raja Ja’far memerintah pada tahun 1805-1832.
Makam Yang Dipertuan Muda (Raja) Riau VII Raja Abdul Rahman terletak pada sebuah lereng bukit sekitar 300 meter dari masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau. Raja Abdul Rahman adalah Yang Dipertuan Muda Ke-VII yang memerintah pada tahun 1832-1844. Setelah meninggal Yang Dipertuan Muda Riau VII dikenal dengan sebutan Marhum Kampung Bulang. Menurut catatan sejarah Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau VII (Raja Abdul Rahman).34Kompleks makam Raja Abdul Rahman terletak pada sebuah tanah yang berbukit
Makam Embung Fatimah terletak di Pulau Penyengat,
Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Propinsi Kepulauan Riau. Embung Fatimah
adalah anak Sultan Mahmud Syah IV, dan dia permaisuri Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja
Muhammad Yusuf Al-Ahmady
Gedung Tengku Bilik terletak di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota. Dahulunya bangunan ini milik Tengku Bilik, adik Sultan Riau-Lingga yang terakhir? bersuami Tengku Abdul Kadir.36
Sisa bangunan Istana Sultan Abdul Rahman Syah memerintah pada tahun 1886-1991 ini sudah tidak tampak, hanya sisa-sisa struktur bangunan dan pintu gerbang.37
Istana ini juga disebut Istana Kedaton. Arsitekturnya tidak jauh berbeda dengan Gedung Daerah di Tanjungpinang.Kondisi bangunan ini sekarang sudah ditumbuhi pohon dan semak belukar, sedangkan bekas alun-alun (padang sewen) Istana Kedaton sekarang sudah berdiri SD Negeri Pulau Penyengat.
Gedung hakim Mahkamah Syariah merupakan tempat tinggal Raja Abdullah. Raja Abdullah ini dikenal sebagai Abu Muhamad Adnan yang mengarang beberapa kitab.Sisa bangunan bergaya kolonial ini sudah tidak beratap, bagian depan bangunan terdapat empat buah pilar berbentuk silinder, sedangkan pada bagian belakang terdapat empat buah pilar dengan bentuk persegi. Bangunan bagian depan lebih ditinggikan sekitar satu meter, pada bangunan bagian belakang masih nampak ruang-ruang dan terdapat sumur.
3. Vihara Avalokitesvara Graha, Vihara Tien Shang Miao, Dharma Sasana
Ada beberapa Vihara terbesar dan unik yang ada di pulau Bintan, diantaranya adalah, Vihara Tien Shang Miao (vihara Akar) DharmaSasana (KelentengSenggarang),Vihara AvalokiteswaraGraha,ViharaKsitigarbha Bodhisattva (vihara seribu patung
Setiap vihara memiliki keunikan dan cerita yang menarik, namun untuk kali ini saya akan mencoba untuk sedikit berbagi cerita tentang salah satu vihara tersebut, dimualai dari, Vihara Avalokiteswara Graha. Mudah mudahan nanti saya berkesampatan mengunjungi vihara yang lain, dan menuliskannya. mudah mudahan bisa menjadi referensi traveling rekan rekan di pulau Bintan. Sumber ePariwisata
Mangrove Sei Carang merupakan salah satu kawasan wisata berupa hutan bakau yang menjadi kebanggaan masyarakat kota Tanjung Pinang. Kawasan wisata yang diresmikan pada tahun 2010 ini berada di tepi Sungai Sei Carang, tak jauh dari Jembatan Gugus. Terdapat sekitar 3.000 jenis tanaman bakau yang tumbuh di kawasan ini. Berada di kawasan ini kita bisa melihat berbagai jenis tanaman bakau melalui jembatan yang telah disediakan. Selain itu, di kawasan hutan bakau ini juga dihuni oleh monyet-monyet yang tentunya juga bisa kita lihat. Monyet monyet tersebut biasanya bergelantungan di antara rerimbunan pohon bakau.
Wisata hutan mangrove merupakan salah satu wisata yang cukup menarik untuk dikunjungi. Apalagi di kawasan wisata ini juga bisa menjadi spot yang menarik untuk menyalurkan bakat fotografimu. Namun saat melintasi jembatan di kawasan wisata ini diharapkan untuk berhati-hati karena ada beberapa bagian jembatan yang berlubang. Untuk dapat menikmati keindahan hutan Magrove ini, para pengunjung tidak dikenakan biaya masuk. Namun, para pengunjung hanya membayar tarif parkir saja sebesar Rp 2.000, (sumber :http://www.utiket.com/)
4.Masjid Raya Al-Hikmah
Masjid ini didirikan oleh masyarakat India (Keling) yang ada di Tanjungpinang. Kapan didirikan masjid ini, belum diketahui secara pasti, tetapi berselang setelah adanya Kontrak Politik antara Sultan Riau dengan Belanda tahun 1857. Masjid ini sudah mengalami beberapa kali perombakan, sehingga bentuk aslinya tidak diketahui lagi.57 Masjid yang kemudian diberi nama Masjid Al-Hikmah ini dikenal sebagai Masjid Raya Kota Tanjungpinang.
5.Kompleks Gedung Daerah
Gedung ini dibangun pada tahun 1822 oleh 14 Pemerintah Belanda yang disebut Kompleks Gubernemen, digunakan sebagai kediaman Residen. Didirikan pada masa pemberontakan Arong Balewo yang terjadi pada tahun 1820.
Ketika Riau berdiri menjadi Propinsi dan Tanjungpinang menjadi ibukota Propinsi Riau, maka gedung ini digunakan sebagai kediaman Gubernur Riau yang pertama, Mr. SM Amin dari Maret 1958 s/d Januari 1959. Selanjutnya menjadi rumah kediaman Bupati Kepala Daerah Tk. II Kabupaten Kepulauan Riau sampai tahun 1990-an. Di gedung ini pula, pejabat Gubernur Propinsi Kepulauan Riau, Drs. H. Ismeth Abdullah, dalam tahun 2004 dilantik.
6.Jil Belanda (Rutan Klas II Tanjungpinang)
Dibangun oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1867, penjara ini merupakan penjara terbesar pada masanya di pantai timur Sumatra, mengimbangi penjara Sawah Lunto-Sumatra Barat.
Bangunan penjara ini berbentuk huruf E dengan tiang bergaya Eropa. Kerangka atas terbuat dari kayu hitam (berlian) atau kayu balau. Bagian atap sudah diganti dengan atap seng. Rumah Jil ini dilengkapi pula dengan beberapa bangunan/rumah untuk perkantoran, karyawan, dan penjaga penjara, yang menempati lahan seluas 1,5 hektare. Jumlah ruang tahanan sebanyak 21 buah dengan ukuran bervariasi, sebagian besar berukuran 8 X 5 meter. Kapasitas ruang tahanan antara lain: 45 orang, 17 orang, dan ada yang hanya 2 orang. Daya tampung keseluruhan, maksimal 250 napi. Namun, karena bertambahnya napi kapasitas maksimal tersebut bisa saja terlampaui, tercatat pada 14 Juni 2005 jumlah napi sebanyak 560 orang.
Kompleks makam ini dipergunakan sejak awal abad ke-19 M hingga sekitar tahun 1960-an.Kondisi kompleks pemakaman ini, dua tahun terakhir baru terawat. Sebagian besar makam-makam pada kompleks pemakaman ini, nisan/batu penanda kubur yang ada sudah hilang, sehingga sulit untuk mengetahui angka tahunnya.
Riwayat makam ini belum diketahui dengan jelas, tetapi dari inskripsi yang terdapat pada nisan-nisan makam, dapat ditarik kesimpulan bahwa makam ini mulai digunakan abad ke-19 sampai abad ke-20. Angka tahun yang tertua bertarikh 1897, sedangkan angka tahun yang termuda bertarikh 1962.51
Keberadaan makam orang Belanda ini, niscayalah menjadi bukti penting bagi pernah bercokolnya Belanda di Tanjungpinang khususnya dan umumnya Kepulauan Riau. Di masa mendatang, tentulah dapat menjadi daya tarik yang tak kalah penting bagi warga negara Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar